|
|
|
PUBLIC
AFFAIRS SECTION |
Public Affairs Section
11 April 2008
Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2007
English
Version
INDONESIA
Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2007
Diluncurkan oleh Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Perburuhan
Undang-undang Dasar memberikan kebebasan dalam
beragama, dan pemerintah pada umumnya menghargai pemakaian hak ini.
Tidak ada perubahan dalam status penghargaan pemerintah terhadap
kebebasan beragama selama periode pembuatan laporan, dan kebijakan
pemerintah kian memberikan kebebasan secara umum dalam beragama.
Namun, saat sebagian besar penduduk menikmati tingkat kebebasan
beragama yang tinggi, pemerintah hanya mengakui enam agama besar.
Beberapa larangan hukum terus berlaku pada beberapa jenis kegiatan
keagamaan tertentu dan pada agama-agama yang tidak diakui. Beberapa
larangan Pemerintah terkadang memberikan toleransi terhadap
diskriminasi dan perlakuan kejam atas kelompok-kelompok agama yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok individu dan seringkali gagal
menghukum para pelakunya. Sementara itu, Aceh adalah satu-satunya
propinsi yang diberikan wewenang untuk melaksanakan hukum Islam
(Syariah), beberapa pemerintah daerah di luar Aceh mengeluarkan
peraturan daerah yang melaksanakan elemen-elemen Syariah yang
menghapuskan hak-hak para perempuan dan agama minoritas. Pemerintah
tidak menggunakan wewenang konstitusionalnya atas masalah-masalah
agama untuk meninjau atau membatalkan peraturan-peraturan daerah
ini. Orang-orang dari kelompok-kelompok agama minoritas dan atheis
terus mengalami diskriminasi dari negara, seringkali dalam konteks
pencatatan sipil untuk pernikahan dan kelahiran atau berkenaan
dengan pengeluaran kartu identitas.
Publik pada umumnya menghargai kebebasan beragama; namun,
kelompok-kelompok ekstrim menggunakan kekerasan dan intimidasi dalam
memaksa delapan gereja kecil yang tidak memiliki ijin dan satu
masjid Ahmadiyah untuk ditutup. Selain itu beberapa gereja dan
tempat-tempat ibadah Ahmadiyah yang ditutup secara paksa oleh massa
pada tahun-tahun sebelumnya tetap ditutup. Beberapa pejabat
pemerintah dan organisasi massa Islam terus menolak penafsiran
Ahmadiyah terhadap Islam yang menimbulkan diskriminasi terhadap para
pengikutnya. Banyak pelaku kekerasan terhadap pemeluk agama
minoritas di masa lalu yang tidak diadili. Begitu pula pada kejadian
dimana kelompok ekstrimis yang menyerang dan mencoba meneror anggota
kelompok-kelompok agama lain yang terjadi di propinsi tertentu
selama periode pelaporan.
Pemerintah AS membahas masalah kebebasan beragama dengan
Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari seluruh kebijakannya untuk
menegakkan hak asasi manusia. Kedutaan Besar AS menegakkan kebebasan
dan toleransi beragama melalui program pertukaran dan pengembangan
masyarakat madani.
Bagian I. Demografi Agama
Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari
17.000 pulau, Indonesia memiliki luas wilayah 700.000 juta mil
persegi dan jumlah penduduk 245 juta.
Menurut laporan sensus tahun 2000, 88,2 persen penduduk
menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam, 5,9 persen Kristen
Protestan, 3,1 persen Katolik Roma, 1,8 persen Hindu, 0,8 persen
Budha, dan 0,2 persen ”lain-lain”, termasuk agama pribumi, kelompok
Kristen lain, dan Yahudi. Beberapa penganut agama Kristen, Hindu,
dan anggota kelompok agama minoritas lain berpendapat bahwa sensus
tersebut kurang akurat dalam menghitung jumlah nonmuslim. Pemerintah
tidak mengakui atheisme.
Sebagian besar Muslim di negara ini adalah Suni. Orang
Syiah memperkirakan bahwa terdapat sekitar satu hingga tiga juta
pengikut Syiah. Mayoritas komunitas Muslim di negara ini mengikuti
dua aliran utama: kaum modernis, yang sangat taat kepada teologi
ortodok yang tekstual, seraya merangkul ajaran dan konsep-konsep
moderen; dan kaum tradisionalis yang kerap kali mengikuti kyai
kharismatik dan berorganisasi di pesantren-pesantren. Organisasi
sosial modernis terkemuka, Muhammadiyah, mengklaim memiliki 30 juta
pengikut, sementara organisasi sosial tradisionalis terbesar,
Nahdlatul Ulama, mengklaim mempunyai 40 juta pengikut.
Organisasi-organisasi Islam yang lebih kecil meliputi
Jaringan Islam Liberal, yang memiliki penafsiran ajaran sendiri,
hingga kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia, yang mendukung
kekhalifahan Islam, dan Majelis Mujahidin, yang menyerukan penerapan
Syariah Islam sebagai syarat terbentuknya negara Islam. Minoritas
kecil memeluk interpretasi Ahmadiyah terhadap Islam dan terdapat 242
cabang Ahmadiyah. Terdapat pula kelompok Islam sempalan, termasuk
Darul Arqam, Jamaah Salamullah, dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Departemen Agama memperkirakan bahwa ada 19 juta pemeluk
Protestan (yang disebut sebagai Kristen di negara ini) dan 8 juta
pemeluk Katolik tinggal di negara ini. Propinsi Nusa Tenggara Timur
memiliki proporsi penganut Katolik tertinggi dengan 55 persen.
Sementara itu, propinsi Papua memiliki proporsi penganut Kristen
Protestan terbesar, yaitu 58 persen.
Departemen Agama juga memperkirakan terdapat 10 juta
pemeluk agama Hindu yang hidup di negara ini. Agama Hindu dianut
hampir 90 persen dari jumlah penduduk Bali. Penganut Hindu
minoriotas (yang disebut ”Keharingan”) tinggal di Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Timur, kota Medan (Sumatera Utara), Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Tengah, serta di Lombok (Nusa Tenggara Barat).
Kelompok-kelompok Hindu seperti Hare Krishna dan para pengikut
pemimpin spiritual India Sai Baba juga ada, walaupun dalam jumlah
yang lebih kecil. Beberapa agama pribumi, termasuk ’Naurus’ di Pulau
Seram di propinsi Maluku yang berkaitan dengan kepercayaan Hindu dan
animisme dalam kebiasaan hidupnya. Banyak pula yang mengadopsi
beberapa prinsip Kristen Protestan. Komunitas Tamil di Medan juga
mewakili sekelompok penting pemeluk agama Hindu.
Negara ini memiliki sedikit pengikut Sikh yang berjumlah
sekitar 10 hingga 15 ribu orang. Mereka sebagian besar bertempat
tinggal di Medan dan Jakarta. Delapan kuil Sikh (gurdwara) terletak
di Sumatera Utara sementara di Jakarta terdapat dua kuil dengan
jamaah yang aktif melakukan ibadah.
Di antara penganut agama Budha, sekitar 60 persen
mengikuti aliran Mahayana, 30 persen menjadi pengikut Theravada, dan
10 persen sisanya penganut aliran Tantrayana, Tridharma, Kasogatan,
Nichiren, dan Maitreya. Menurut Generasi Muda Budhhis Indonesia,
sebagian besar penganut agama Budha tinggal di Jawa, Bali, Lampung,
Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau, etnis China merupakan 60
persen dari penganut agama Budha.
Jumlah pengikut Konghucu masih tidak jelas karena pada
saat sensus nasional tahun 2000, para responden tidak diijinkan
untuk menunjukkan identitas mereka. Jumlah mereka mungkin terus
bertambah setelah pemerintah menghapuskan berbagai larangan di tahun
2000 seperti hak untuk merayakan Tahun Baru China di muka umum.
Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan
bahwa 95 persen dari pengikut Konghucu adalah etnis China dan
sisanya dari etnis Jawa pribumi. Banyak pengikut Konghucu yang juga
menjalankan ajaran agama Budha dan Kristen. MATAKIN mendesak
pemerintah untuk memasukkan Konghucu sebagai salah satu kategori
pada sensus berikutnya.
Sekitar 20 juta orang di pulau Jawa, Kalimantan, dan Papua
diperkirakan mempraktekkan animisme dan jenis sistem kepercayaan
tradisional lainnya yang disebut sebagai ’Aliran Kepercayaan”.
Beberapa penganut animisme menggabungkan kepercayaan mereka dengan
salah satu agama yang diakui Pemerintah.
Sejumlah kecil komunitas Yahudi terdapat di Jakarta dan
Surabaya. Komunitas Baha’i melaporkan bahwa mereka memiliki ribuan
anggota, tetapi tidak ada angka yang dapat diandalkan.
Perwakilan Falun Dafa mengklaim bahwa kelompok mereka
lebih sebagai organisasi spiritual daripada agama, memiliki 2.000
sampai 3.000 pengikut dan hampir setengahnya tinggal di Yogyakarta,
Bali, dan Medan.
Tidak ada data mengenai agama yang dianut warga asing dan
para imigran.
Sekitar 191 misionaris asing, terutama dari agama Kristen,
menjalankan misi di negara ini. Banyak yang bekerja di Papua,
Kalimantan, dan di wilayah-wilayah lain dengan jumlah penganut
animisme besar.
Bagian II. Status Kebebasan Beragama
Kerangka Hukum/Kebijakan
Undang-undang Dasar memberikan kebebasan beragama, dan
pemerintah pada umumnya menghargai pelaksanaan hak ini. UUD
menyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu” dan menyatakan pula bahwa ”Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’. Sila pertama ideologi
nasional negara ini, Pancasila, menyatakan keyakinan kepada satu
Tuhan. Namun, terdapat beberapa larangan pada jenis-jenis kegiatan
agama tertentu dan pada agama-agama yang tidak diakui. Pegawai
negeri sipil harus menyatakan sumpah setia kepada bangsa dan
ideologi Pancasila. Pemerintah terkadang memberikan toleransi kepada
kelompok-kelompok ekstrim yang menggunakan kekerasan dan intimidasi
terhadap kelompok-kelompok agama, dan seringkali gagal menghukum
para pelakunya. Pemerintah tidak menggunakan wewenangnya untuk
meninjau atau mencabut perturan daerah yang melanggar kebebasan
beragama.
Departemen Agama menambah status resmi menjadi enam
keyakinan; Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan sejak
Januari 2006, Konghucu. Atheisme tidak diakui. Organisasi-organisasi
keagamaan selain dari keenam agama yang diakui tersebut dapat
mendaftar ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata hanya sebagai
organisasi sosial yang melarang kegiatan-kegiatan keagamaan
tertentu. Kelompok-kelompok keagamaan yang tidak terdaftar tidak
memiliki hak untuk mendirikan rumah ibadah dan mengalami
kesulitan-kesulitan administratif dalam mendapatkan kartu identitas
dan dalam mendaftarkan pernikahan dan kelahiran.
Pemerintah mensyaratkan kelompok-kelompok keagamaan yang
diakui secara resmi untuk mematuhi instruksi Departemen Agama dan
departemen lainnya seperti Surat Keputusan Bersama Menteri yang
direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat (2006), Bantuan Asing
kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (1978) dan Pedoman Penyiaran
Agama (1978).
Pada tanggal 9 Desember 2006, DPR mensyahkan Undang-undang
Administrasi Kependudukan yang mengharuskan warganegara
mengidentifikasikan diri mereka pada KTP sebagai pemeluk salah satu
dari enam agama yang diakui oleh Pemerintah. Undang-undang tersebut
melegalisir apa yang di masa lalu merupakan praktek administrasi di
seluruh negeri. Undang-undang tersebut tidak mengijinkan pencatuman
agama lain dalam KTP tersebut.
Surat Keputusan Bersama Menteri yang Direvisi tahun 2006
mengenai Pendirian Rumah Ibadat yang dikeluarkan pada tanggal 21
Maret 2006 mengharuskan kelompok agama yang hendak mendirikan rumah
ibadat untuk mengumpulkan paling sedikit 90 tanda tangan anggota
jemaat dan 60 tanda tangan dari pemeluk agama lain yagn berada dalam
komunitasnya yang mendukung pendirian rumah ibadat, serta
mendapatkan persetujuan kantor urusan agama setempat. Beberapa
kelompok agama mengeluhkan bahwa surat keputusan yang direvisi
tersebut mempersulit mereka dalam mendirikan rumah ibadat, sementara
yang lain berpendapat bahwa kejelasan dalam surat keputusan yang
direvisi tersebut akan memperbaiki keadaan dengan menghilangkan
penafsiran-penafsiran yang menimbulkan konfik dari surat keputusan
tahun 1969 yang digantikannya.
Pedoman untuk Batuan Asing bagi Lembaga Keagamaan
mengharuskan lembaga keagamaan dalam negeri untuk mendapatkan
persetujuan dari Departemen Agama sebelum menerima dana dari donor
asing. Pedoman Penyiaran Agama melarang ajakan untuk berpindah agama
dalam berbagai situasi.
Undang-undang Perlindungan Anak tahun 2002 menjadikan
upaya untuk mengubah keyakinan anak pindah agama melalui ”tipu
muslihat” dan/atau ”kebohongan” sebagai kejahatan yang dapat dikenai
hukuman hingga 5 tahun penjara.
Pasal 156 KUHP membuat penyebaran permusuhan, penodaan,
dan penghinaan terhadap suatu agama dapat dikenai hukuman hingga 5
tahun penjara. Walaupun hukum diterapkan terhadap semua agama yang
diakui secara resmi, namun pasal ini biasanya berlaku pada
kasus-kasus yang melibatkan penghinaan dan penodaan terhadap Islam.
Masalah penerapan Syariah Islam menimbulkan kontroversi
dan keprihatinan selama periode pelaporan. Aceh tetap merupakan
satu-satunya propinsi dimana pemerintah pusat secara khusus
memberikan wewenang untuk penerapan Syariah Islam. Keputusan
Presiden No. 11/2003 secara formal mengesahkan Pengadilan Syariah di
Aceh. Namun, beberapa pemerintahan daerah secara resmi memberlakuan
peraturan daerah yang diilhami oleh syariah Islam.
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia, paling sedikit ada 46
peraturan daerah berbasis syariah yang telah dikeluarkan pemerintah
daerah. Ini mencakup peraturan yang mewajibkan perempuan untuk
mengenakan penutup kepala di muka umum; memerintahkan para pejabat
terpilih, pelajar, pegawai negeri, dan penduduk yang ingin
mendapatkan ijin nikah untuk dapat membaca Qur’an dalam bahasa Arab;
dan melarang meminum minuman beralkohol dan berjudi. Selama periode
pelaporan, pemerintah tidak menggunakan hak hukumnya dalam
masalah-masalah keagamaan untuk meninjau atau membatalkan
peraturan-peraturan kontroversial ini yang bertentangan dengan UUD.
Misalnya, menurut seorang pejabat senior pemda, 18 dari 22
kabupaten di Sulawesi Selatan mengadopsi aspek-aspek hukum syariah
Islam. Penerapannya berkisar antara pelaksanaan cara berbusana
Islami bagi perempuan di muka umum hingga larangan minuman
beralkohol dan perjudian. Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan
memiliki empat peraturan daerah yang melaksanakan elemen-elemen
Syariah untuk semua Muslim. Kabupaten Bulukumba dan Bone telah
melaksanakan elemen-elemen khusus dimana kepala desa, calon kepala
daerah, pelajar sekolah menengah, dan mereka yang ingin mendapatkan
ijin nikah harus dapat membaca Qur’an dalam literatur Arab. Di
Padang, Sumatera Barat, walikota menginstruksikan semua muslimah
untuk mengenakan penutup kepala dan pihak berwenang setempat
memberlakukan persyaratan ini. Peraturan tersebut tidak berlaku bagi
non-muslim. Beberapa kabupaten telah mengeluarkan peraturan yang
menghalangi perempuan mendapatkan layanan umum pemerintah jika
mereka tidak mengenakan penutup kepala. Beberapa tempat lain
memiliki peraturan daerah yang serupa dengan Kabupaten Bulukumba.
Peraturan daerah di Kabupaten Pamekasan, Madura
mengharuskan para pegawai negeri sipil yang beragama Islam
mengenakan busana Muslim dan menghentikan baik aktivitas publik
maupun pekerjaan saat azan tiba.
Di Tangerang, propinsi Banten, larangan bermesraan di muka
umum, minuman beralkohol, dan prostitusi terus diberlakukan.
Larangan-larangan ini berlaku bagi Muslim maupun nonmuslim. Pasal
anti-prostitusi yang kontroversial secara tidak jelas mendefinisikan
seorang pelacur sebagai orang yang menimbulkan kecurigaan
berdasarkan sikap, perilaku, atau pakaian dan membebankan mereka
yang dicurigai untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah.
Kelompok advokasi menantang konstitusionalitas peraturan Tangerang,
tetapi pada bulan Maret 2007, Mahkamah Agung menguatkan larangan
tersebut.
Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen Agama
di Nusa Tenggara Barat mengeluarkan larangan terhadap 13 kelompok
keagamaan, termasuk Ahmadiyah, Saksi Yehova, Hare Krishna, dan 9
bentuk aliran kepercayaan sebagai penyimpangan terhadap Islam,
Kristen, dan Hindu. Larangan ini masih berlaku.
Selama periode pelaporan, panitia khusus DPR terus
melakukan peninjauan terhadap versi revisi racangan undang-undang
anti pornografi dan pornoaksi. Undang-undang ini pada awalnya
diperkenalkan pada tahun 2004 sebagai Undang-undang Anti Pornografi
dan Pornoaksi dan melarang sikap mempertunjukkan ”bagian tubuh yang
sensual,” berciuman di muka umum, dan semua tulisan, karya seni,
rekaman, atau siaran-siaran yang dengan jelas menampilkan
seksualitas, dimana semuanya didefinisikan secara luas. Rancangan
undang-undang tersebut mengundang debat nasional dan menimbulkan
demonstrasi-demonstrasi besar baik yang mendukung maupun yang
menentang. Para penentang undang-undang tersebut mengatakan
undang-undang ini sebagai suatu usaha para pendukung undang-undang
syariah untuk melaksanakan ayariah secara tidak langsung. Pada bulan
Februari 2006, anggota legislatif Indonesia diberitakan telah
merevisi RUU tersebut dengan mempertimbangkan tradisi-tradisi budaya
dan sensitivitas masyarakat setempat serta merubah nama
undang-undang tersebut menjadi Undang-undang Pornografi.
Undang-undang Perkawinan tahun 1974 melarang pegawai
negeri melakukan poligami kecuali dalam keadaan-keadaan terbatas.
Undang-undang perkawinan untuk umat Islam diambil dari syariah yang
mengijinkan seorang pria memiliki hingga empat orang istri, dengan
syarat ia mampu bersikap adil. Seorang pria yang menikahi istri
kedua, ketiga atau keempatnya harus mendapatkan ijin pengadilan dan
ijin dari istri pertamanya; namun, pada prakteknya hal ini selalu
tidak dipenuhi. Banyak perempuan yang dilaporkan sulit untuk
menolak, dan kelompok perempuan muslim tetap terbagi dua antara yang
mendukung perlunya sistem ini direvisi dengan yang tidak mendukung.
Perceraian tetaplah merupakan pilihan hukum yang tersedia
bagi pengikut semua agama, tetapi Muslim yang ingin bercerai umumnya
harus melalui Pengadilan Agama Islam, sementara nonmuslim dapat
bercerai melalui pengadilan umum. Pada kasus-kasus perceraian,
terbukti bahwa perempuan seringkali menanggung beban yang lebih
berat dibandingkan pria, khususnya dalam sistem pengadilan agama
berdasarkan hukum Islam. Undang-undang mengharuskan mantan suami
untuk memberikan tunjangan atau yang setara, tetapi tidak terdapat
mekanisme pelaksanaannya dan perempuan yang diceraikan jarang
menerimanya.
Pada bulan Desember 2006, seorang ulama Muslim terkemuka,
Aa Gymnastiar, mengumumkan bahwa ia telah menikahi istri keduanya.
Pernikahan kedua Gymnastiar menjadi masalah nasional ketika buntut
dari pemberitaan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan para pejabat dari
Departemen Agama untuk membahas kontroversi atas pernikahan
poligami. Sejak itu Departemen Pemberdayaan Perempuan mengumumkan
bahwa Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk memperluas larangan
berpoligami hingga mencakup semua pejabat negara, termasuk anggota
parlemen dan para prajurit. Usulan tersebut menerima dukungan
antusias dari Muslim yang berpikir maju dan dari banyak kalangan
perempuan, tetapi menadapatkan tentangan keras dari para konservatif
agama yang berpendapat bahwa poligami diijinkan dalam Islam dan
karena itu tidak boleh dilarang oleh hukum sekuler.
Pemerintah mengijinkan praktek sistem keyakinan
tradisional Aliran Kepercayaan sebagai manifestasi budaya, bukan
sebagai suatu agama. Para pengikut Aliran Kepercayaan harus
mendaftar ke Departemen Pendidikan. Pihak berwenang daerah pada
umunya menghargai penganut Aliran Kepercayaan ini dalam
mempraktekkan keyakinannya.
Pada tanggal 28 Juni 2007, Pemerintah mengeluarkan
Peraturan No. 37/2007 yang mengacu ke Undang-undang Administrasi
Kependudukan dan Perkawinan. Peraturan baru mengijinkan para pemuka
Aliran Kepercayaan untuk memimpin upacara perkawinan dan meminta
kantor catatan sipil untuk mendaftarkan ijin nikah yang
ditandatangani oleh pemimpin perkawinan tersebut, sehingga membuat
perkawinan-perkawinan ini diakui secara resmi. Namun, peraturan
pelaksanaan atau panduan teknis lain belum dikeluarkan hingga akhir
periode pembuatan laporan.
Pemerintah nasional secara resmi tidak melarang kegiatan
Ahmadiyah, tetapi beberapa pemerintah daerah melarangnya. Walaupun
yurisdiksi pemerintah pusat meliputi urusan-urusan keagamaan,
masalah administrasi kian sulit mengambil posisi yang jelas atas
larangan-larangan daerah terhadap Ahmadiyah tersebut.
Beberapa hari raya umat Islam, Kristen, Hindu, dan Budha
menjadi hari libur nasional. Hari besar Islam yang diakui mencakup
Isra’ Mi’raj, Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru Islam, dan Maulid
Nabi Muhammad SAW. Hari besar Kristen adalah Natal, Wafatnya Isa
Almasih, dan Kenaikan Isa Almasih. Tiga hari libur nasional lainnya
adalah hari raya Nyepi umat Hindu, Hari Raya Waisak umat Budha, dan
Tahun Baru Cina (Imlek) yang dirayakan oleh pemeluk Konghucu dan
masyarakat Tionghoa lainnya. Di Bali, semua hari raya Hindu adalah
hari libur daerah, dan PNS serta pegawai lainnya tidak bekerja pada
hari Saraswati, Galungan dan Kuningan.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sepanjang bulan puasa
Ramadhan Muslim, banyak Pemerintah daerah yang memerintahkan
penutupan atau pengurangan jam operasi berbagai tempat hiburan. Pada
tahun 2006 di Jakarta, lagi-lagi SK gubernur memerintahkan penutupan
bar-bar bukan hotel, diskotik, klub malam, spa sauna, panti pijat,
dan pertunjukan musik hidup selama sebulan. Tempat-tempat biliar,
bar karaoke, bar hotel, dan diskotik diijinkan untuk beroperasi
maksimal empat jam per malam. Beberapa pemeluk agama minoritas dan
sebagian Muslim yakin bahwa peraturan ini melanggar hak-hak mereka.
Berdasarkan UU No. 17/1999, pemerintah memiliki monopoli
atas penyelenggaraan ibadah Haji. Undang-undang tersebut menyatakan
bahwa Departemen Agama bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan,
layanan, dan perlindungan kepada mereka yang sedang menunaikan
ibadah Haji. Departemen juga menetapkan biaya berkaitan dengan Haji
dan mengeluarkan paspor haji.
Pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan Undang-undang
Pendidikan Nasional. Pada akhir periode pembuatan laporan, Presiden
tidak menandatangani peraturan pelaksanaan mengenai pengajaran agama
dan pendidikan agama. Peraturan ini memerintahkan pengajaran agama
dalam salah satu dari enam agama resmi saat diminta oleh seorang
pelajar. Undang-undang sebelumnya mengharuskan semua siswa untuk
mengambil pelajaran agama dalam salah dari lima agama, yaitu Islam,
Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu.
Pemerintah melarang ajakan untuk pindah agama dengan
alasan bahwa kegiatan tersebut, khususnya di wilayah-wilayah yang
didominasi oleh anggota agama lain, terbukti mengganggu. Pada tahun
1979 Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri mengeluarkan surat
keputusan yang melarang usaha-usaha permurtadan.
Pemerintah membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
tahun 1975 dan terus mendanai dan menunjuk para anggotanya. MUI
bukanlah badan resmi pemerintah. Namun, maklumat atau fatwa-fatwanya
dijadikan dasar bimbingan moral bagi umat Islam. Walaupun
pendapat-pendapat MUI tidak mengikat secara hukum, masyarakat dan
pemerintah secara serius mempertimbangkan mereka saat membuat
berbagai keputusan atau menyusun undang-undang. Di tahun 2005, MUI
nasional mengeluarkan 11 fatwa, termasuk sebuah fatwa yang melarang
Ahmadiyah. Fatwa-fatwa tersebut sangat berpengaruh pada diskriminasi
resmi dan sosial terhadap Ahmadiyah dan kelompok agama minoritas
lainnya selama periode pelaporan.
Periode pembuatan laporan, beberapa pejabat pemerintah dan
para pemimpin politik terkemuka berinteraksi di forum-forum dan
seminar-seminar publik dengan para pemuka agama dan kelompok antar
agama seperti Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia (GANDI) dan
Solidaritas Nusa Bangsa.
Undang-undang tidak mendiskriminasikan kelompok agama
apapun dalam lapangan pekerjaan, perumahan, atau layanan kesehatan.
Pembatasan-pembatasan terhadap Kebebasan Beragama
Kebijakan dan tindakan pemerintah berpengaruh pada praktek
praktek beragama yang secara umum bebas. Namun, kebijakan-kebijakan,
undang-undang, dan tindakan-tindakan resmi tertentu membatasi
kebebasan beragama, dan pemerintah terkadang mentolerir
diskriminasi dan kekerasan terhadap para individu dikarenakan
keyakinan agama mereka yang dilakukan oleh para pelaku individu.
Tidak ada laporan mengenai adanya penahanan para pelaku tersebut di
negara ini.
Pemerintah mengharuskan semua warga negara dewasa untuk
membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang, antara lain, menunjukkan
identitas agama. Pemeluk agama yang tidak diakui pemerintah umumnya
tidak dapat memperoleh KTP kecuali bila mereka mengaku sebagai
pengikut dari agama yang diakui. Selama periode pelaporan, kelompok
hak asasi manusia terus menerima laporan sporadis bahwa ada petugas
Catatan Sipil daerah yang menolak pengajuan permohonan pemeluk agama
yang tidak diakui pemerintah atau agama minoritas. Yang lainnya
menerima permohonan tetapi mengeluarkan KTP-KTP yang mencatumkan
keterangan yang tidak akurat mengenai agama pemohon. Beberapa
penganut animisme menerima KTP yang menyebutkan bahwa mereka
beragama Islam. Banyak penganut Sikh yang dicantumkan sebagai
penganut Hindu dalam KTP dan akte perkawinan mereka karena
pemerintah tidak secara resmi mengakui agama mereka. Warganegara
yang tidak memiliki KTP mendapati kesulitan dalam mendapatkan
pekerjaan. Sebagian organisasi swadaya masyarakat dan kelompok
advokasi agama terus mendesak pemerintah untuk menghapus kategori
agama dalam KTP.
Sistem pencatatan sipil membatasi kebebasan beragama orang
yang tidak menganut salah satu dari enam agama yang diakui;
animisme, Baha’i, dan penganut kepercayaan minoritas lain mengalami
kesulitan dalam mendaftarkan perkawinan atau kelahiran, meskipun
terdapat peraturan pada bulan Juni 2007 yang berkaitan dengan
administrasi perkawinan dan sipil. Pada prakteknya, pasangan yang
dihalangi untuk mendaftarkan pernikahan mereka atau kelahiran
seorang anak sesuai dengan keyakinan mereka masuk ke dalam agama
yang diakui atau menyatakan seolah-olah mereka penganut salah satu
dari enam agama yang diakui. Mereka yang memilih untuk tidak
mencatatkan perkawinannya atau kelahiran anaknya di masa mendatang
akan menemui kesulitan seperti: seorang anak yang tidak memiliki
akte kelahiran tidak dapat masuk sekolah dan tidak memenuhi syarat
untuk mendapatkan beasiswa. Mereka yang tidak memiliki akte
kelahiran tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pekerjaan di
kantor pemerintahan.
Pria dan wanita beda agama akan terus menghadapi hambatan
untuk menikah dan mendaftarkan pernikahan mereka secara resmi. Para
pasangan ini mengalami kesulitan dalam mencari pemuka agama yang
bersedia melaksanakan upacara pernikahan antar agama; upacara
pernikahan agama harus dilakukan sebelum suatu pernikahan dapat
didaftarkan. Akibatnya, sebagian orang berpindah agama untuk dapat
menikah. Lainnya, menikah di luar negeri dan kemudian mendaftarkan
pernikahannya di Kedutaan Besar Indonesia. Meskipun merupakan
sebagai salah satu agama yang diakui secara resmi, umat Hindu
mengatakan bahwa seringkali mereka harus menempuh jarak yang jauh
untuk mendaftarkan pernikahan mereka karena di banyak daerah
pedalaman karena pemerintah daerahnya tidak dapat atau tidak mau
melakukan pencatatan.
Kelompok keagamaan dan organisasi sosial harus mendapatkan
ijin untuk mengadakan konser keagamaan atau kegiatan lainnya di
hadapan publik. Pemerintah biasanya memberikan ijin dengan cara yang
tidak berat sebelah kecuali terdapat kekhawatiran bahwa kegiatan
tersebut akan menimbulkan kemarahan kelompok agama lain di wilayah
tersebut.
Ceramah agama dapat diberikan jika disampaikan ke penganut
agama yang sama dan tidak dimaksudkan untuk mengajak orang pindah
keyakinan. Program keagamaaan yang ditayangkan di televisi tetap
dibatasi, dan pemirsa dapat menyaksikan program religi yang
ditawarkan oleh agama manapun yang diakui.
Tidak ada batasan atas publikasi materi keagamaan atau
penggunaan simbol-simbol agama; namun, pemerintah melarang
penyebaran materi-materi keagamaan kepada pemeluk agama lain.
Tentara Nasional Indonesia menyediakan sarana dan program
keagamaan, termasuk kebaktian dan pertemuan keagamaan di semua
komplek perumahan bagi prajurit yang melakukan ibadah agama yang
diakui secara resmi. Walaupun setiap komplek perumahan militer wajib
menyediakan masjid, gereja Katolik dan Protestan, dan pusat ibadah
atau kuil untuk umat Budha dan Hindu, kompleks perumahan yang lebih
kecil jarang menyediakan sarana ibadah untuk keenam agama.
Sejak pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang
direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat pada bulan Maret 2006, yang
merupakan revisi surat keputusan tahun 1969, pelaksanaan dan
pembelaan hak-hak yang diberikan di bawah SKB tersebut tidak selalu
dilaksanakan di tingkat daerah. Selama periode pelaporan, sebagian
umat Kristiani dan Hindu menunjukkan adanya tindakan diskriminasi
secara sporadis, dimana pemerintah daerahnya menolak memberikan ijin
pembangunan gereja dan kuil walaupun kelompok tersebut telah
mengumpulkan tanda tangan sesuai dengan yang diminta. Misalnya,
Parisadha Hindu Dharma Indonesia melaporkan bahwa mereka tetap tidak
bisa mendirikan sebuah kuil di dekat Jakarta walaupun telah
mengumpulkan persyaratan tanda tangan yang diminta.
Di Aceh, upaya untuk mendidik masyarakat tentang syariat
dan pelaksanaannya terus dilakukan. Selama bulan Ramadan, penjaga
toko menutup usaha mereka untuk sholat Zuhur dan rumah makan tetap
tutup sepanjang hari. Propinsi Aceh mengerahkan ratusan polisi
syariat untuk menegakkan syariat. Mereka bekerjasama dengan polisi
pamong praja untuk menyelidiki dan mengusut berbagai pelanggaran.
Kadang polisi syariat menahan beberapa orang untuk ”mendidik
masyarakat” jika tertangkap tidak berbusana Muslim atau berkencan
tanpa didampingi muhrimnya, tetapi polisi pada umumnya tidak menahan
atau menuntut mereka dengan dakwaan pidana. Kota Banda Aceh tidak
lagi mengerahkan ”Brigade Masjid” untuk mengawasi penggunaan pakaian
Muslim yang pantas. Pada tanggal 17 Agustus 2006, 15 petugas polisi
syariat dan 10 anggota polisi merazia kompleks perumahan Program
Pangan Dunia PBB di Banda Aceh. Alasan dilakukannya razia tersebut
beragam karena dilaporkan berkaitan dengan narkoba atau alkohol.
Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin
Departemen Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun (barang,
orang, atau uang) kepada kelompok-kelompok keagamaan.
Misionaris asing harus mendapatkan visa tinggal terbatas
untuk rohaniawan. Sebagian kelompok Kristen mengatakan bahwa
misionaris Kristiani menemui kesulitan untuk mendapatkan atau
memperpanjang visa. Persyaratan untuk visa tinggal terbatas untuk
rohaniawan lebih sukar diperoleh daripada visa kategori lain. Mereka
tidak hanya meminta persetujuan dari kantor wilayah Departemen
Agama, mulai dari tingkat daerah hingga ke pusat, tetapi juga data
statistik tentang jumlah pemeluk agama tersebut di masyarakat dan
pernyataan yang menegaskan bahwa pemohon tidak akan bekerja lebih
dari dua tahun di negara ini sebelum digantikan oleh warganegara
setempat. Misionaris asing yang mendapatkan visa tersebut bekerja
relatif tanpa hambatan. Banyak misionaris yang fokus utama
kegiatannya pada pembangunan berhasil memperoleh visa kunjungan
sosial di Departemen Kesehatan atau Departemen Pendidikan Nasional.
Penyalahgunaan Kebebasan Beragama
Selama periode pelaporan, ada laporan-laporan mengenai
penyalahgunaan kebebasan beragama di seluruh wilayah negara ini.
Selama periode pelaporan, seperti pada periode sebelumnya,
pemerintah terus secara jelas dan tegas melarang kebebasan beragama
kelompok-kelompok yang berkaitan dengan bentuk-bentuk Islam yang
dipandang di luar aliran utama. Selama periode pelaporan pula,
pemerintah menahan dan menuntut beberapa orang dengan tuduhan aliran
sesat, penghujatan, dan penghinaan terhadap Islam.
Pada bulan Mei 2007, di Kabupaten Lebak, Jawa Barat,
Departemen Agama menghimbau pengikut ajaran ”Islam Sejati” untuk
kembali kepada ajaran Islam yang benar. Beberapa hari kemudian, pada
tanggal 15 Mei 2007, MUI Propinsi Banten, Jawa Barat, mengeluarkan
fatwa yang menyatakan bahwa kelompok tersebut menyimpang karena para
anggotanya hanya sholat tiga kali sehari dan tidak menghadap ke
Kiblat ketika melaksanakan sholat.
Selama periode pelaporan, 187 anggota Ahmadiyah terus
hidup di penampungan pengungsi di Mataram, Lombok. Mereka telah
hidup di kamp tersebut sejak adanya serangan yang dilakukan oleh
Muslim setempat pada bulan Februari dan Maret 2006 yang
menghancurkan rumah-rumah dan masjid mereka. Perwakilan Ahmadiyah di
Lombok mengangkat masalah keamanan pada tanggal 24 Juli 20065 dengan
perwakilan Konsulat Australia di Bali. Mereka meminta suaka dari
penyiksaan Muslim setempat. Pada bulan Mei 2007, Wakil Gubernur Nusa
Tenggara Barat menyatakan bahwa Ahmadiyah diijinkan oleh hukum untuk
mencari suaka di negara lain.
Kekerasan dan tindakan terhadap komunitas Ahmadiyah
meningkat setelah MUI mengeluarkan fatwanya di bulan Juli 2005 yang
menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Di tahun 2005 sejumlah
kebijakan, undang-undang, dan tindakan resmi membatasi kebebasan
beragama komunitas Ahmadiyah di wialayah-wilayah lain. Walaupun
dengan penjagaan ketat aparat ketika terjadi dua serangan atas
jamaah Ahmadiyah di Jawa Barat pada bulan Juli, polisi tidak menahan
siapapun. Pemerintah daerah kemudian memberlakukan larangan terhadap
Ahmadiyah di Jawa Barat, dan mereka tidak diperkenankan menggunakan
komplek ibadah mereka. Pada masa akhir periode pembuatan laporan,
tidak ada tindakan yang diambil terhadap para pelaku peristiwa
tersebut. Pemerintah terus mentolerir diskriminasi dan kekejaman
terhadap Ahmadiyah dengan tetap diam mengenai fatwa MUI tahun 2005,
status hukum Ahmadiyah, dan larangan oleh pemerintah daerah.
Puluhan orang di Pasuruan, Jawa timur, mendatangi dua
rumah milik M. Thoyib dan Rochamim pada tanggal 9 April 2007, dan
menuduh mereka mempraktekkan animisme. Kedua pria tersebut
sebelumnya menjalankan agama Islam, tetapi kemudian diduga keras
memeluk animisme dan melaksanakan upacara ritual animisme di
makam-makam. Para tetangga mengadukan mereka sebagai pelaku ajaran
sesat. Polisi setempat menahan dan menanyai keduanya mengenai
kegiatan mereka. Mereka tidak ditahan atau dikenai tuduhan; tetapi,
keduanya memilih tetap berada dalam penjagaan polisi demi
keselamatan mereka sendiri selama dua minggu sebelum kembali ke
rumah.
Pada bulan April 2007, Kepolisian Wilayah Malang menahan
delapan orang yang dituduh menyebarkan video ”pelatihan doa” yang
dibuat oleh Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia di Batu, Jawa
Timur. Video tersebut diduga menggambarkan 30 umat Kristiani yang
diperintahkan oleh pemimpin mereka untuk meletakkan Al Qur’an di
lantai pada pertemuan di bulan Desember 2006. Setelah penahanan
awal, 33 orang kembali ditahan dengan tuduhan penistaan agama
berkaitan dengan video-video tersebut. Para pemuka gereja Kristen
membantah dugaan bahwa Kristen terlibat dalam pembuatan atau
penyebaran video-video tersebut. Di akhir periode pembuatan laporan,
41 orang yang ditahan masih menunggu sidang pengadilan.
Pada tanggal 28 Juni 2006, Pengadilan Negeri Polewali,
Sulawesi Selatan, menjatuhkan hukuman kepada Sumardi Tappaya,
seorang guru agama Islam sebuah SMU, dengan 6 bulan penjara untuk
penghinaan agama setelah seorang kerabat menuduhnya sholat sambil
bersiul. MUI setempat menyatakan bahwa perbuatan itu sesat. Guru
tersebut telah selesai menjalani hukumannya.
Pada tanggal 29 Juni 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
menghukum Lia Eden, seorang pemimpin Kelompok Jamaah Salamullah,
dengan 2 tahun penjara untuk penodaan terhadap ajaran agama. MUI
mengeluarkan fatwa pada tahun 1997 yang menyatakan bahwa ajaran
Jamaah Salamullah sesat.
Pers melaporkan bahwa pada bulan Mei 2006, DPRD
Banyuwangi, Jawa Timur melakukan pengambilan suara untuk memecat
Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari. Ratna yang terlahir sebagai
seorang Muslim, oleh para pelaku pemecatan dituduh menghina Islam
dengan mempraktekkan agama yang berbeda dari yang disebutkan dalam
KTP-nya. Para pendukung Ratna menyatakan bahwa Ratna adalah sasaran
kampanye pemfitnahan bermotivasi agama disebabkan pernikahannya
dengan pria Hindu. Ratna tetap menjadi bupati karena pengadilan
menyatakan bahwa tidak cukup quorum saat pengambilan suara
dilakukan. DPRD naik banding ke Mahkamah Agung yang hingga akhir
periode pelaporan belum mengeluarkan keputusannya.
Pada tangga 12 April 2006, polisi di Banyuwangi, Jawa
Timur, menahan lima aktivis Falun Dafa, dua di antaranya orang
asing, yang membagikan surat edaran kepada penduduk setempat.
Kemudian polisi mengaku bahwa penahanan kelima orang itu karena isi
edaran memuat informasi mengenai partai Komunis Cina dan bukan
karena mereka aktivis anggota Falun Dafa; mendistribusikan tulisan
tentang Komunis tetap dilarang. Kelima aktivis Falun Dafa tersebut
kemudian dibebaskan dan tidak ada tuduhan yang diajukan.
Sepanjang tahun 2006 Pemerintah Aceh menghukum cambuk
setidaknya 25 orang karena meminum minuman beralkohol, 59 orang
karena berjudi, dan 32 orang karena berdua-duaan dengan lawan jenis
yang tidak memiliki hubungan darah.
Forum Komunikasi Kristen Indonesia mengaku bahwa delapan
gereja kecil tidak berijin di Jawa Barat telah ditutup selama
periode pelaporan oleh kelompok ekstrimis Muslim walaupun dalam
peraturan yang direvisi rumah ibadah diberikan tenggang waktu 2
tahun untuk mendapatkan ijin setiap permohonan baru. Pada tahun
2006, kelompok militan menutup dua gereja secara paksa tanpa
intervensi polisi. Penutupan 20 gereja lainnya pada tahun 2006 di
bawah tekanan kelompok militan setelah pengumuman surat keputusan
yang direvisi tetap ditutup, menurut Forum tersebut. Walaupun ada
penjagaan, polisi jarang bertindak untuk mencegah penutupan gereja
secara paksa dan terkadang membantu para kelompok militan melakukan
penutupan tersebut. Di awal Juni 2006, Pemerintah pusat mengumumkan
niatnya untuk mengambil tindakan keras terhadap kelompok militan
agama tersebut atas perilaku membahayakan mereka terhadap
tempat-tempat ibadah dan sasaran lainnya. Di akhir periode pembuatan
laporan, tidak ada laporan khusus mengenai tindakan yang diambil.
Pada bulan November 2005, polisi setempat menahan seorang
asing dan seorang WNI yang bekerja pada proyek kemanusiaan Kristen
untuk pembangunan bendungan di pulau Madura. Polisi bertindak
setelah pemuka agama setempat menuduh keduanya melakukan
permurtadan. Tuduhan dipicu kecemburuan para pemuka agama karena
masyarakat mereka tidak menerima proyek serupa. Jaksa mendakwa sang
WNI, yang terus mengenalkan versi bukan Islam tradisional kepada
masyarakat, dengan tuduhan penghinaan terhadap suatu agama, dan
pengadilan menghukumnya 2 ½ tahun penjara. Orang asing tersebut
dijatuhi hukuman untuk pelanggaran keimmigrasian dan dihukum 5 ½
bulan, dan dideportasi.
Pada bulan Oktober 2005, polisi di Sulawesi Tengah
mendatangi aliran Madi setelah penduduk dari desa tetangga mengeluh
bahwa para pengikut aliran tersebut tidak berpuasa atau melaksanakan
sholat taraweh selama bulan Ramadan. Tiga polisi dan dua anggota
aliran tewas dalam bentrokan. Pengikut aliran tersebut diberitakan
menahan dua petugas kepolisian sebagai tawanan tetapi kemudian
dilepaskan. Lima pengikut aliran Madi diadili oleh pengadilan daerah
dengan tuduhan menyebabkan kematian personil polisi; pada bulan
Januari 2006, mereka dijatuhi hukuman penjara antara 9 hingga 12
tahun.
Pada bulan September 2005, pengadilan di Jawa Timur
menghukum enam terapis narkoba dan kanker di sebuah pusat
rehabilitasi di Jawa Timur dengan hukuman masing-masing 5 tahun
penjara dan tambahan 3 tahun penjara atas dakwaan melanggar ajaran
Islam dengan menggunakan metode penyembuhan paranormal. MUI setempat
menyatakan bahwa metode penyembuhan pusat rehabilitasi mereka sesat.
Polisi menahan para terapis saat mereka berusaha mempertahankan diri
dari serangan ratusan orang ke kantor mereka. Pusat rehabilitasi
tersebut ditutup dan keenam penasehat mulai menjalankan hukuman
mereka selama periode pelaporan.
Pada bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri Malang, Jawa
Timur, menvonis Muhammad Yusman Roy dua tahun penjara karena sholat
menggunakan dua bahasa, yaitu Indonesia dan Arab, yang oleh MUI
dinyatakan sebagai hal yang menodai keaslian ajaran Islam yang
berbahasa Arab. Roy bebas dari penjara pada tanggal 9 November 2006
setelah menjalani masa tahanan selama 18 bulan.
Pada bulan Juni 2005, polisi mendakwa dosen Universitas
Muhammadiyah di Palu atas tuduhan penghinaan. Mereka menahannya
selama 5 hari kemudian menetapkannya sebagai tahanan rumah, setelah
2.000 orang memprotes artikel mengenai pendapatnya berjudul ”Islam,
Agama yang Gagal”. Artikel tersebut, antara lain menyoroti
penyebaran korupsi di negara ini. Dosen tersebut dibebaskan dari
tahanan rumah dan kemudian dipecat oleh Universitas.
Pada bulan September 2005, sebuah pengadilan menghukum
tiga orang wanita dari Gereja Kristen Kemah Daud dengan hukuman 3
tahun penjara di bawah UU Perlindungan Anak untuk dugaan
Kristenisasi anak-anak Muslim. Para wanita tersebut mengaku bahwa
anggota keluarga telah memberikan ijin kepada anak-anak mereka untuk
mengikuti program pemuda Kristen. Mahkamah Agung menolak banding
para wanita tersebut di tahun 2006. Mereka menjalani dua tahun
hukuman dan kemudian bebas bersyarat pada tanggal 11 Juni 2007.
Peraturan daerah berdasarkan syariah tentang anti
pelacuran terdapat di seluruh wilayah negara ini. Peraturan ini juga
terdapat di Tangerang, Jawa Barat, di mana DPRD mengeluarkan
peraturan dengan kalimat yang tidak jelas pada tanggal 21 November
2005, yang melarang siapapun yang dicurigai sebagai pelacur,
berdasarkan sikap atau perilakunya, berada di tempat-tempat umum. Di
tahun 2006, Tangerang menahan dan mengadili puluhan wanita sebagai
pelacur, termasuk seorang ibu dua orang anak yang sedang hamil yang
dituduh sebagai pelacur karena menyimpan peralatan berhias dalam
tasnya. Pada bulan April 2006, tiga orang dari para perempuan yang
diadili di Tangerang mengajukan permohonan peninjauan ulang atas
perda tersebut ke Mahkamah Agung, tetapi Mahkamah menetapkan pada
tanggal 1 Maret 2007 bahwa perda tersebut sah dan tidak bertentangan
dengan undang-undang lainnya yang lebih tinggi.
Pemaksaan untuk Berpindah Agama
Tidak ada laporan mengenai pemaksaan untuk berpindah
agama, termasuk tentang warganegara AS yang diculik atau dipindahkan
secara ilegal dari Amerika Serikat, ataupun pelarangan pengembalian
warga AS tersebut kembali ke Amerika Serikat.
Anti Semitisme (Anti-Yahudi)
Sabili, majalah Islam yang bertiras luas, terus
menerbitkan artikel-artikel dengan pernyataan-pernyataan dan
tema-tema anti Semit. Majalah ini memperingatkan keberadaan kegiatan
konspirasi ”Zionis” di negara ini. Sebuah CD yang diproduksi pada
bulan September 2005 oleh badan komersial Trustco Multimedia yang
memuat materi politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang
menduduki 8 persen kursi di DPR, dan sebuah permainan anti Semit
berjudul ”Tembak Yahudi”. PKS kemudian meminta Trustco Multimedia
untuk menarik CD tersebut dari pasaran, dan tidak ada laporan lebih
lanjut mengenai kemunculan CD tersebut di toko-toko eceran.
Pelanggaran oleh Organisasi-organisasi Teroris
Selama periode pelaporan, pemerintah berhasil mengadili
dan menghukum 27 tersangka terorisme dan menahan paling tidak 47
tersangka teroris lainnya yang diharapkan akan diadili di masa
mendatang. Persidangan ke-17 tersangka teroris tersebut sedang
berlangsung dalam periode pembuatan laporan ini, sementara
setidaknya 27 tersangka teroris lainnya berada dalam tahanan sambil
menunggu sidang. Jumlah ini mencakup para tersangka yang berafiliasi
pada Jamaah Islamiyah (JI) dan penduduk Poso, baik yang Kristen
maupun Islam, yang terlibat dalam kekerasan terhadap kelompok
keagamaan lainnya.
Pada tanggal 21 Maret 2007, Hasanuddin, salah satu
pemimpin JI di balik peristiwa pemenggalan tiga pelajar putri
Kristen di Poso pada bulan November 2005, dihukum 20 tahun penjara
oleh pengadilan Jakarta atas perannya dalam pemenggalan kepala.
Polisi Sulawesi Tengah menahan Hasanuddin pada sebuah penggerebekan
di bulan Mei 2006. penahanannya menyoroti peranan kelompok militan
daerah dan jaringan terorisme JI dalam serangan dengan kekerasan
yang telah mengganggu propinsi ini.
Pada bulan Januari 2007, polisi menggerebek tersangka
teroris, ekstrimis Muslim Dedi Pasaran yang ditembak mati sementara
Abdul Muis ditangkap. Kedua pria ini membunuh seorang pemuka agama
Kristen dan sekretaris Gereja Protestan Sulawesi Tengah, Pendeta
Irianto Kongkoli, pada tanggal 22 Oktober 2006 di Palu, Sulawesi
Tengah.
Pada bulan September 2006, Pengadilan Negeri Denpasar
menghukum Mohammad Cholily dan Anief Solchanudin masing-masing
dengan 18 dan 15 tahun penjara dan Dwi Widianto serta Abdul Aziz
dengan 8 tahun penjara untuk perencanaan dan pelaksanaan pengeboman
Bali tanggal 1 Oktober 2005. Tiga pelaku bom bunuh diri dari JI
menewaskan 22 orang dan mencederai 100 orang di wilayah-wilayah
turis Kuta dan Jimbaran di Bali selama serangan.
Pemerintah berhasil menghukum 6 orang untuk serangan bunuh
diri bulan September 2004 di Kedutaan Besar Australia yang
menewaskan 10 orang dan mencederai lebih dari 100 orang. Pada bulan
September 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum Rois dan
Ahmad Hasan dengan hukuman mati, Saipul Bahri dengan hukuman penjara
selama 10 tahun, dan 3 pelaku lain mendapatkan 3 hingga 7 tahun
penjara. Pada bulan Desember 2005, Pengadilan Tinggi Jakarta
menguatkan hukuman mati untuk Rois dan Ahmad Hasan. Pada bulan
Januari 2006, Rois dan Hasan mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung menguatkan keputusan hukuman mati Hasan pada bulan
Mei 2006, tetapi belum memberikan putusan banding Rois hingga akhir
periode pembuatan laporan ini.
Perkembangan dan Kemajuan Positif dalam Penghormatan
terhadap Kebebasan Beragama
Pada bulan Februari 2006 saat berpidato di hadapan publik,
Presiden memastikan kembali kepada warganegara keturunan Tionghoa
bahwa hak-hak mereka secara hukum dan konstitusional dijamin dan
meminta kantor catatan sipil di seluruh Indonesia untuk mencatatkan
pernikahan Konghucu sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang.
Pidato Presiden tersebut yang disampaikan saat Tahun Baru Cina,
mempermudah penganut Konghucu dalam memperoleh KTP yang menuliskan
agama mereka dan mencatatkan perkawinan dan kelahiran Konghucu.
Perwakilan komunitas Cina kembali dapat mempraktekkan agama Konghucu
dengan cara yang relatif bebas selama periode pelaporan ini.
Tidak ada upaya khusus untuk membangun keharmonisan antar
agama di beberapa propinsi.
Pemerintah Sumatera Utara terus mendukung sebuah
organisasi, yaitu FORKALA, yang menyatukan perwakilan dari semua
kelompok agama yang diakui dan menggalakkan dialog antara agama
sebagai cara untuk menghindari konflik agama.
Selama periode pelaporan, kekerasan bermotivasi agama
menurun secara signifkan di Maluku dan Maluku Utara. Kekerasan
bermotif agama mencapai puncaknya terjadi akhir 1990an, dan terus
berlanjut pada skala lebih kecil walau cukup mengganggu di
tahun-tahun berikutnya. Namun, seperti di tahun-tahun sebelumnya,
Sulawesi Tengah mengalami peledakan bom, penembakan secara sporadis,
dan kekerasan lain walaunpun berbagai usaha untuk mengembalikan
keamanan dan meningkatkan perdamaian terus dilakukan. Pejabat
pemerintah bekerja sama dengan para pemuka agama Islam dan Kristen
untuk meredakan ketegangan di kedua wilayah.
Maluku tetap tenang dan baik para pemuka agama dari
masyarakat Islam maupun Kristen serta pemerintah daerah Maluku
memperlihatkan komitmen yang kuat untuk meredakan ketegangan dan
melakukan pembangunan kembali. Berbagai proyek pembangunan untuk
membangun kembali gereja, masjid, dan rumah-rumah yang rusak telah
dilakukan selama periode pelaporan. Kanwil Departemen Sosial Maluku
mensponsori sebuah program di bulan September 2006 yang disebut
”Jembatan Persahabatan” yang dihadiri oleh 250 orang dari seluruh
Maluku yang sebelumnya terlibat dalam konflik keagamaan tersebut.
Umat Muslim dan Kristen menghabiskan satu hari untuk berkumpul
bersama di Letuwaru, sebuah desa Kristen, dan kemudian pada hari
berikutnya di Amahai, sebuah desa Muslim. Pimpinan daerah Maluku dan
perwakilan masyarakat Islam maupun Kristen bergabung bersama di
bulan November 2006 di Ambon untuk membahas cara-cara untuk terus
meningkatkan proses perdamaian.
Selama periode pelaporan, para pemuka agama Islam dan
Kristen dengan cepat mengecam segala upaya yang terus dilakukan
untuk membuat Maluku tidak stabil. Ketua MUI Maluku dan ketua Sinode
Gereja Maluku mengutuk dua insiden yang terjadi di bulan Maret 2007.
Pada tanggal 3 Maret, bom rakitan berdaya ledak rendah diledakkan di
pintu gerbang pelabuhan Ambon melukai 16 orang, dan pada tanggal 5
Maret polisi menyingkirkan alat peledak serupa di pusat perbelanjaan
Ambon Plaza. Polisi memeriksa sedikitnya lima orang berkaitan dengan
serangan tersebut, tetapi pelaku dan motif masih tidak jelas. Tidak
ada penahanan. Para pemimpin agama memperlihatkan kerjasama kuat
antar agama dan keinginan menjaga perdamaian di wilayahnya dengan
segera dab sama-sama mengutuk berbagai insiden.
Situasi di Poso tetap tegang, tetapi polisi terus
mengambil tindakan keras dan menahan beberapa tersangka dengan
tuduhan terorisme dan kejahatan keras lainnya terkait dengan
perselisihan agama di Sulawesi Tengah. Polisi daerah Sulawesi Tengah
terus melindungi gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah setempat
sepanjang pelayanan keagamaan. Tindakan ini secara berangsur-angsur
membangkitkan optimisme penduduk setempat bahwa siklus kekerasan
telah menurun.
Sepanjang semester pertama tahun 2007, polisi di pulau
Jawa menangkap 17 tersangka yang dicuriagi sebagai teroris JI untuk
tuduhan merencanakan berbagai operasi dan menyembunyikan senjata dan
bahan peledak, yang sebagian mereka kirimkan untuk mendukung
berlanjutnya kekerasan di wilayah seperti Poso. Polisi menemukan
rencana-rencana operasional dan menyita ratusan kilogram bahan
peledak dan detonator, lusinan senapan, dan ribuan amunisi.
Penahanan pemimpin operasional kunci JI, Abu Dujana di bulan Juni
2007 kemudian membenarkan tujuan-tujuan kekerasan kelompok tersebut.
Di akhir 2006 dan awal 2007, polisi menahan puluhan
tersangka di Poso atas keterlibatan mereka dalam serangkaian
serangan sektarian sejak tahun 2001. Sampai Februari 2007, polisi
menyatakan bahwa mereka telah menahan 18 dari 29 orang ”paling
dicari” yang dicurigai terlibat dalam kekerasan di Sulawesi Tengah.
Menurut Kadiv Humas Polri, sebagian besar dari 18 orang yang
ditangkap adalah anggota JI yang terhubung dengan kelompok militan
Muslim Tanah Runtuh yang dituduh telah melakukan sebagian besar
kejahatan mengerikan terhadap umat Kristen sejak tahun 2001.
Bagian III. Kekerasan Sosial dan Diskriminasi
Selama periode pelaporan, terdapat laporan-laporan
mengenai kekerasan sosial dan diskriminai berdasarkan keyakinan atau
praktek agama.
Menurut Forum Komunikasi Kristen Indonesia, kelompok
militan memaksa penutupan delapan gereja kecil tidak resmi selama
periode pelaporan. Front Pembela Islam (FPI), Aliansi Gerakan Anti
Pemurtadan (AGAP), dan Divisi Anti Permurtadan (DAP) Forum Ulama
Islam Indonesia, didukung beberapa komunitas Muslim setempat,
mendalangi banyak penutupan gereja. AGAP dan FPI menyatakan bahwa
mereka mentargetkan gereja-gereja yang beroperasi tanpa ijin
pemerintah daerah dan masyarakat sekitarnya seperti disyaratkan
dalam Surat Keputusan Bersama Menteri yang Direvisi mengenai
Pendirian Rumah-rumah Ibadat, walaupun terdapat pemberian waktu dua
tahun untuk mendaftarkannya secara resmi. Banyak dari gereja yang
menjadi target beroperasi di rumah-rumah pribadi dan di ruko.
Pada tanggal 4 Juni 2007, sebuah kelompok militan
menyerang dan merusak sebuah gereja Protestan kecil di komplek
perumahan di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang menuntut
agar gereja tersebut ditutup. Para penyerang mengaku berasal dari
AGAP, tetapi baik AGAP maupun DAP menolak bertanggung jawab. Dalam
kejadian terkait sepuluh hari kemudian, lebih dari 100 orang
berdemonstrasi menuntut penutupan rumah-rumah pribadi yang dijadikan
gereja di Soreang.
Pada tanggal 4 April 2007, puluhan anggota DAP mendatangi
Gereja Kristen Pasundan di Bandung, Jawa Barat, untuk menanyakan
peristiwa yang baru saja terjadi dimana gereja melanggar
perjanjiannya untuk tidak melakukan kegiatan pemurtadan di komunitas
Muslim. Seorang anggota DAP menyatakan bahwa gereja tersebut
menandatangani perjanjian tahun 2005 dengan kelompok anti pemurtadan
AGAP untuk tidak melakukan upaya pemurtadan. Namun, anggota tersebut
menduga bahwa gereja telah melanggar perjanjiannya dengan menjadikan
beberapa Muslim di Garut dan wilayah-wilayah Pagauban Bandung
pengikut agama Kristen dengan memberikan mereka uang. Para pemimpin
gereja secara damai membahas masalah tersebut.
Pada tanggal 24 September 2006 sekitar 50 orang dari DAP
menyerang dan mencoba menghancurkan Gereja Yayasan Penginjilan Roti
Kehidupan Bandung Selatan, Jawa Barat, dengan alasan bahwa tingkat
kebisingan kebaktian menganggu masyarakat setempat. Para penyerang
memulai dengan menghancurkan atap dan mereka berhenti ketika polisi
turun tangan. Gereja tersebut tidak lagi berfungsi.
Pada bulan September 2006, mendekati Ramadan, kelompok
militan Muslim merazia kedai minuman keras dan tempat prostitusi di
seluruh negeri. Pada tanggal 8 september 2006, ratusan anak muda
merazia warung-warung minuman di pinggir jalan di Bogor, Jawa Barat,
mencari minuman beralkohol untuk dihancurkan. Pada 8 September 2006,
di Semarang, Jawa Tengah, polisi merazia sejumlah kedai minuman di
sisi jalan yang menjual minuman beralkohol. Pada tanggal 13
September 2006, Gubernur Jakarta Sutiyoso meminta
organisasi-organisasi massa untuk tidak main hakim sendiri dan
menyatakan bahwa pengoperasian tempat-tempat hiburan sepanjang bulan
Ramadhan sudah diatur dalam peraturan daerah dan ini adalah tanggung
jawab Polisi.
Beberapa rumah ibadah, sekolah agama, dan rumah warga
sekte Islam yang dianggap menyimpang diserang, dirusak, ditutup
secara paksa, dihalangi pembangunannya oleh kelompok-kelompok
militan dan massa di seluruh negara tersebut seperti yang
digambarkan dalam contoh-contoh kasus berikut ini.
Pada tanggal 19 Juni 2007, puluhan anggota FPI dan
kelompok garis keras lainnya berdemonstrasi di depan Mesjid Mahmud
di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, menuntut Ahmadiyah
dibubarkan. Demonstrasi tersebut merupakan balasan terhadap
diadakannya Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) komunitas Ahmadiyah
pada April 22, 2007. Pimpinan Ahmadiyah mengaku telah menerima ijin
polisi untuk mengadakan pertemuan. Polisi dengan segera mengamankan
mesjid dan menjaga para demonstran. Menyusul peristiwa tersebut,
para pimpinan Ahmadiyah bertemu dengan pimpinan Muslim setempat, dan
diskusi antara Ahmadiyah dan kelompok muda Islam menghasilkan satu
diskusi publik berjudul, ”Negara Harus Melindungi Pengikut
Ahmadiyah.” Namun, pada tanggal 26 Juni, 2007, kelompok yang sama
berdemonstrasi menuntut DPRD Tasikmalaya membubarkan Ahmadiyah. DPRD
menolak tuntutan tersebut, dan menyatakan bahwa masalah agama adalah
kewenangan pemerintah pusat.
Pada tanggal 9 April 2007, polisi mencegah ratusan orang
yang hendak menyerang sebuah pesantren milik Tajul Ali Murthado
dengan menggunakan pisau dan golok di Sampang, Jawa Timur. Penduduk
setempat menuduh Murtadho mengajarkan Islam yang menyimpang.
Murtadho ditahan sebentar oleh Polisi dan kemudian dilepaskan.
Polisi untuk sementara menutup pesantren tersebut tetapi dibuka
kembali setelah situasi terkendali.
Pada tanggal 8 April 2007, di Jember, Jawa Timur, massa
yang marah mengepung sebuah rumah milik Suwarno, seorang pemimpin
kelompok Ikatan Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), sebuah organisasi
keagamaan Syiah. Mereka menuntut Ijabi tidak menyebarkan
ajaran-ajaran Syiah. Polisi setempat memindahkan tiga pemimpin Ijabi
termasuk Suwarno guna menenangkan situasi; massa kemudian
dibubarkan. Para pemimpin Ijabi diperiksa polisi dan dilepaskan pada
hari yang sama.
Pada tanggal 27 Maret 2007, Alih bin Hadi, seorang ulama
di Bogor, Jawa Barat diculik dari dalam masjid oleh massa yang
berjumlah sekitar 200 orang dan memukulinya hingga tewas. Alih
berceramah bahwa umat Islam dapat pergi ke masjid sekitar daripada
ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji. Ia juga mengatakan umat Islam
dapat membayar zakat setelah hari raya Idul Fitri. Ajaran-ajaran
Alih telah lama menimbulkan kemarahan penduduk setempat. Pada bulan
Desember 2005, ia menandatangani perjanjian untuk menghentikan
kegiatan masjid dan meninggalkan wilayah tersebut, tetapi kemudian
ia kembali dan memperbarui kegiatan ceramahnya. Alih adalah bagian
dari kelompok yang lebih besar yang disebut Yayasan Karisma Usada
Mustika (Yaskum) yang sedang diselidiki oleh MUI Kabupaten Bogor
dengan dugaan melakukan ajaran sesat selama periode pelaporan.
Sekitar 1.000 anggota Yaskum berdemonstrasi di luar kantor polisi
Bogor untuk memprotes pembunuhan terhadap Alih. Di akhir periode
pembuatan laporan ini, tiga pria yang dicurigai merencanakan
pembunuhan terhadap Alih telah ditahan polisi.
Pada tanggal 24 Desember 2006, didorong oleh ulama
setempat, 500 penduduk desa yang marah di desa Jambesari, Kabupaten
Bondowoso, Jawa Timur menyerang 150 anggota Ijabi yang sedang
melaksanakan sholat dengan menghancurkan tiga rumah, sebuah
musholah, dan sebuah mobil milik ketua Ijabi setempat. Para penduduk
Suni setempat keberatan dengan kehadiran Syiah dalam komunitas
mereka dan menuduh mereka sebagai orang-orang yang menyimpang dari
ajaran Islam dan melakukan ajaran sesat. Polisi memindahkan dan
memeriksa 17 anggota Ijabi selama delapan jam, tetapi tidak ada
penahanan. Dua penghasut, Sumiko (aka Pak Lim) dan Burasim,
kemudian ditahan dan dikenakan dakwaan pidana perusakan properti.
Sidang mereka, yang sedang berlangsung, dimulai pada tanggal 2 Mei
2007. Jaksa menuntut hukuman 6 bulan penjara. Para pemimpin Ijabi
melaporkan bahwa tidak ada insiden lagi sejak Desember itu.
Pada tanggal 29 Oktober 2006, penduduk mengamuk dan
menyerang enam rumah milik anggota masjid Miftahus Salam dan
pesantren di Bogor, Jawa Barat. Penduduk yakin bahwa masjid dan
sekolah adalah pusat ajaran sesat. Sebelum penyerangan, Ustad Yusup
Maulana yang merupakan kepala sekolah, diperiksa polisi. Dalam
sebuah pernyataan tertulis, ia mengakui bahwa ia mengajarkan ide-ide
yang tidak sesuai dengan hukum Islam kepada 40 murid sekolahnya.
Pernyataannya membuat penduduk melakukan serangan. Polisi menahan
Maulana dan menangkap dua perusuh, tetapi masih tidak jelas apakah
mereka masih tetap dalam tahanan hingga akhir periode pembuatan
laporan ini.
Pada tanggal 8 Agustus 2006, ratusan orang yang mengenakan
topeng membakar sebuah sekolah asrama milik Datuk Buluh Perindu, di
Sidera, Sulawesi Tengah. Penduduk menuduh Perindu sebagai guru
spiritual Madi, yaitu sebuah aliran Islam minoritas. Polisi tidak
melakukan penangkapan.
Pada tanggal 8 Maret 2007, sekitar 200 anggota FPI dan
Forum Betawi Rempug, sebuah kelompok yang terdiri dari penduduk asli
Jakarta, menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di
Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena
para pelajarnya menyanyi hingga larut malam dan mengganggu
masyarakat setempat. FPI juga menyatakan bahwa sekolah tersebut
ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekoah tersebut memiliki
ijin-ijin resmi baik untuk keberadaan bangunan maupun asrama baru.
Polisi mengirimkan satu detasemen untuk menghentikan massa tersebut.
Sekolah tersebut masih berfungsi hingga kini.
Pada tanggal 2 September 2006, sekelompok massa membakar
Gereja Misi Evangelis di Siompi, Aceh Singkil, setelah tersebar
berita bahwa gereja tersebut merencanakan kebaktian kebangkitan.
Saat sejumlah besar umat Kristen berangkat menuju kebaktian
tersebut, mereka dihadang oleh beberapa Muslim yang tidak menyetujui
kebaktian kebangkitan tersebut. Polisi tidak menghalangi serangan
tersebut. Pastor Luther Saragih ditahan sebentar oleh polisi dan
diminta memulangkan umat Kristen tersebut. Kemudian pada malam itu,
sekitar 100 orang dengan sepeda motor membakar gereja dan mencari
Pastor Saragih dan istrinya yang sedang hamil. Pastor dan istrinya
melarikan diri ke hutan dan bersembunyi disana hingga mereka
ditemukan selamat oleh teman-temannya di pagi harinya. Pastor
Saragih dan istrinya kemudian pindah untuk menghindar karena masih
terus menerima ancaman.
Warga Muslim secara rutin melaporkan adanya kesulitan
untuk membangun masjid di wilayah-wilayah minoritas Muslim di Papua,
Sulawesi Utara, dan tempat-tempat lainnya.
Kadang-kadang, kelompok garis keras menggunakan tekanan,
intimidasi, atau kekerasan terhadap mereka yang membawa pesan
bersifat menghina. Walaupun masih mendapat kritik dari kelompok
Islam garis keras, Jaringan Islam Liberal (JIL) tetap menyerukan
penafsiran pribadi tentang ajaran Islam dan toleransi beragama. JIL
mengkonfrontasi kelompok garis keras di forum-forum umum, termasuk
seminar-seminar. Kelompok militan yang mengaku menegakkan moralitas
masyarakat terkadang menyerang kafe dan klub malam yang mereka
anggap sebagai ajang prostitusi atau yang tidak membayaran kepada
mereka.
Perpindahan agama tanpa paksaan terjadi sebagaimana
diperbolehkan secara hukum, tetapi tetap saja merupakan sumber
kontroversi. Sebagian orang berpindah agama karena menikah dengan
orang beda agama; yang lain berpindah agama akibat penyebaran agama
atau kegiatan sosial yang diorganisir oleh kelompok agama. Sebagian
Muslim menuduh misionaris Kristen menggunakan pembagian makanan dan
program kredit mikro untuk memikat Muslim miskin pindah agama.
Sebagian orang yang berpindah agama terpaksa tidak memberitahukan
kepindahan agama mereka karena alasan keluarga dan tekanan
masyarakat.
Di sulawesi Tengah, ketegangan politik dan ekonomi antara
populasi Kristen dan Muslim yang jumlahnya hampir seimbang terus
menyulut berbagai tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian
selama periode pelaporan. Berbagai tindak kriminalitas tersebut
kelihatannya terjadi dengan motif agama.
Pada tanggal 22 September 2006, Fabianus Tibo, Dominggus
da Silva, dan Marianus Riwu dihukum mati akibat peran mereka dalam
kekerasan sektarian di Poso pada tahun 2000 dan pada pembunuhan 191
Muslim di sebuah sekolah. Eksekusi tersebut menimbulkan kekerasan di
daerah Flores dan Timor Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan di
Sulawesi Tengah, dengan beberapa kritikan bahwa penjatuhan hukuman
dan eksekusi ketiga pria Kristen tersebut adalah sebuah kasus
diskriminasi yang dilakukan oleh pihak berwenang. Di Flores 3.000
orang melakukan kerusuhan dan membakar paling sedikit 3 bangunan
pemerintahan. Di Kefamananu dan Atambua, Timor Barat, antara 3.000
hingga 5.000 orang membuat kerusuhan dengan menghancurkan
gedung-gedung pemerintahan, rumah-rumah, dan kendaraan.
Di Sulawesi Tengah, pada hari yang sama saat eksekusi
dilaksanakan, dua orang Muslim, Arham Badaruddin dan Rendi Rahman,
ditarik dari mobil mereka dan dipukuli hingga tewas saat melewati
Taripa, sebuah desa yang didominasi komunitas Kristen. Polisi
menangkap 17 orang yang ikut serta dalam pembunuhan tersebut,
semuanya mengakui keterlibatan mereka. Para tersangka memberitahukan
polisi bahwa para korban dibunuh karena eksekusi terhadap Tibo,
Riwu, dan Da Silva. Pada tanggal 2 April 2007, jaksa penuntut di
Jakarta menuntut ke-17 tersangka dengan undang-undang anti terorisme
atas pembunuhan kejam terhadap 2 pria Muslim pada tanggal 23
September 2006. Ke-17 tersangka adalah penganut Kristen pertama dari
Sulawesi Tengah yang dituntut dengan terorisme. Pada bulan Juni
2007, jaksa penuntut mengajukan argumen penutup dalam kasus ini dan
keputusannya diharapkan akan keluar akhir musim panas 2007.
Sementara itu hukuman maksimum adalah hukuman mati, para jaksa
penuntut mengajukan permohonan 15 hingga 20 tahun penjara bagi para
pelaku.
Beberapa peristiwa terjadi setelah eksekusi dilaksanakan
pada bulan September 2006, termasuk 3 ledakan skala kecil,
penyerangan baik terhadap umat Islam maupun Kristen, dan penyerangan
terhadap Kepala Polisi Daerah Sulawesi Tengah yang mengakibatkan
pengeroyokan dan penghancuran helikopter polisi oleh 5.000 massa.
Polisi terus menyelidiki pengakuan terpidana mati Fabianus Tibo
tentang tuduhan bahwa 16 orang Kristen lainnya yang menjadi otak di
balik kekerasan di Sulawesi Tengah. Pada bulan April 2007, polisi
Sulawesi Tengah kembali memriksa 10 dari 16 orang yang disebutkan
oleh Tibo.
Bagian IV. Kebijakan Pemerintah AS
Misi diplomatik AS di Indonesia, termasuk Kedutaan Besar
AS di Jakarta, Konsulat Jenderal di Surabaya, dan Konsulat di Medan,
secara berkala berhubungan dengan pejabat Indonesia dalam isu-isu
kebebasan beragama dan mendorong pejabat Kedutaan lain untuk
membahas masalah ini dengan pemerintah. Staf Kedubes di semua level
sering bertemu dengan para pemuka agama dan advokat hak asasi
manusia untuk meningkatkan penghargaan terhadap kebebasan beragama.
Staf Kedubes juga secara rutin mengadakan pertemuan dengan para
pimpinan NU dan Muhammadiyah untuk menjelaskan kebijakan AS dan
membahas toleransi antarumat beragama serta isu-isu lain.
Upaya penjangkauan Kedubes AS menekankan pada pentingnya
kebebasan beragama dan toleransi dalam masyarakat yang demokratis.
Selama periode pelaporan, Kedubes mempromosikan pluralisme dan
toleransi melalui program-program pertukaran dan masyarakat madani.
Sebanyak 213 warga Indonesia telah mengunjungi Amerika
Serikat dalam program jangka pendek, termasuk melihat peran agama di
masyarakat dan politik AS. Para peserta program mengalami langsung
bagaimana pluralisme agama, dialog antaragama, dan multikulturalisme
menjadi bagian integral dalam masyarakat yang demokratis. Misalnya,
satu program kepemimpinan pemuda menawarkan remaja Indonesia
kesempatan untuk bertemu dengan rekan sebaya di Amerika. Mereka
berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, bertemu dengan para
pemimpin agama dan terlibat dalam diskusi-diskusi mengenai toleransi
beragama. Delapan penerima beasiswa Fulbright dari Indonesia
berangkat ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi dan mengambil
program-program studi yang langsung berkaitan dengan praktek agama
dalam masyarakat demokratis. Tiga akademisi AS datang ke Indonesia
untuk mengajar dan melakukan penelitian mengenai topik yang sama.
Kedubes AS berhasil menjangkau jutaan orang melalui
produksi siaran media yang memberikan liputan mendalam mengenai isu
kebebasan beragama dari perspektif Amerika. Ini termasuk program
radio Greetings from America, yang secara berkala menampilkan
topik-topik seperti kebebasan beragama, perbedaan agama, toleransi,
dan pluralisme dari perspektif para pelajar sekolah menengah atas
dan mahasiswa Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Program
radio ini mengudara 9 kali setiap minggunya dengan 10 juta pendengar
potensial di 6 kota.
Kedubes AS juga mendanai pembuatan serial dokumenter
televisi, The Colors of Democracy, yang diproduksi secara
bersama-sama di Indonesia dan Amerika Serikat. Serial ini, pada
awalnya mengudara setiap sore dari tanggal 5 Desember 2005 hingga 25
Januari 2006, secara berkala menampilkan topik-topik seperti
kebebasan beragama dan dialog antaragama di Amerika Serikat. Misi
diplomatik menyumbangkan 6.000 set video compact disc (VCD)
berisikan The Colors of Democracy, yang menyoroti dampak
positif kebebasan beragama, pluralisme, dan kegiatan antar agama
untuk sekolah dan perpustakaan. Melalui perjanjian dengan Departemen
Pendidikan yang ditandatangani pada tanggal 11 Oktoiber 2006,
VCD-VCD dimasukkan dalam kurikulum pelatihan guru Departemen
Pendidikan dan meliputi 32.000 sekolah di seluruh Indonesia.
Misi diplomatik AS terus mendanai Pusat Studi Agama dan
Lintas Budaya (CRCS) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. CRCS
bekerja bersama Radio Republik Indonesia dalam pembuatan acara
bincang-bincang dua bulanan yang mengangkat masalah kebebasan
beragama, toleransi, dan demokrasi. Selain siaran radio langsung,
program tersebut ditayangkan di TVRI Yogyakarta, yang memungkinkan
dilakukannya penyebaran ide-ide ini kepada masyarakat di Yogyakarta
dan daerah sekitar di Jawa Tengah. Isi program tersebut diterbitkan
dalam surat kabar setempat. Pada bulan Desember 2006, CRCS
memperluas diskusi publik mengenai isu-isu ini melalui pembuatan
website.
Kedubes AS mendukung pembuatan dan produksi acara bincang-bincang di
televisi dengan 12 episode berjudul Islam Indonesia.
Program tersebut bertujuan mendidik kalangan kelas menengah dan
profesional muda dan ditayangkan di televisi setiap dua minggu, dan
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendengarkan,
menyaksikan, dan terlibat secara aktif dalam debat interaktif
melalui saluran telepon. Topik-topik yang dibahas mencakup kebebasan
beragama, toleransi, dan pluralisme. Setiap episode menerima 12
hingga 33 telepon.
Berkaitan dengan majalah mingguan, Kedubes AS mendukung
publikasi edisi suplemen untuk memberikan informasi obyektif
mengenai usaha-usaha jaringan Muslim pro demokrasi untuk mendukung
proses demokrasi, termasuk kebebasan beragama, toleransi, hak sipil,
dan demokrasi. Majalah ini menyebarkan 90.000 salinan ke seluruh
nusantara setiap minggunya dengan perkiraan jumlah pembaca 450.000
orang.
Misi diplomatik AS juga mendukung program seminar kampus
yang bertujuan memperkuatkan pendukung pluralisme di kampus-kampus
Islam dan menguatkan pemahaman tentang kebebasan beragama,
toleransi, pluralisme, dan kesetaraan jender. Diskusi-diskusi publik
diadakan di beberapa kampus di Jakarta, Serang, Rangkasbitung,
Yogayakrta, Surabaya, Mataram, dan Medan bekerjasama dengan berbagai
universitas Islam dan universitas negeri seperti Universitas Gajah
Mada dan Universitas Sumatera Utara. Lebih dari 1.500 pelajar dengan
berbagai latar belakang dan 50 pembicara nasional dan daerah
dilibatkan dalam diskusi-diskusi tersebut.
Dikeluarkan pada tanggal 14 September 2007.
|